Kamis, 24 Oktober 2013
Sejarah Jambi
Sejarah
Jambi
Rangkaian sejarah perjuangan masyarakat
Jambi dipaparkan dalam panil-panil relief yang terdapat di dinding depan dan
dalam museum. Rangkaian sejarah tersebut diawali pada masa Kerajaan Melayu Kuno
yang berkedudukan di pantai timur Sumatera dengan pusatnya sekitar Jambi.
Keberadaan Kerajaan Melayu Kuno ini terdapat pada catatan Dinasti Tang yang
memberitakan adanya utusan dari Mo-Lo-Yeu pada tahun 644 dan 645 M.
I-Tsing mencatat tentang kerajaan ini tatkala singgah guna melanjutkan
perjalanannya dari Kanton menuju India pada tahun 672. Tinggalan masa Melayu
Kuno dapat ditemui berupa sebaran situs percandian di sepanjang Daerah Aliran
Sungai (DAS) Batanghari yang berpusat di Muarojambi. Situs percandian
terbesar yang diidentifikasikan sebagai situs percandian Muarojambi ini
diperkirakan dibangun pada abad ke 7 dan berlanjut hingga abad ke 13.
Kemajuan dan posisi strategis Kerajaan Melayu menarik perhatian Raja Singosari untuk melakukan ekspansi kekuasaan dan membendung kekuasaan Kubhilai Khan dari Cina ke Nusantara. Bentuk ekspansi Raja Singosari, Kertanegara, adalah mengirimkan pasukannya ke Melayu pada tahun 1275. Pengiriman pasukan yang disebut Ekspedisi Pamalayu mengakibatkan terjadinya pergeseran pusat Kerajaan Melayu ke arah pedalaman hulu Batanghari. Kehadiran Singosari di Kerajaan Melayu pada masa Pamalayu berlanjut dalam jalinan hubungan persahabatan antara Singosari dan Melayu yang diwujudkan pengiriman arca Amoghapasa ke Darmasraya pada tahun 1286.
Keberadaan Kerajaan Melayu beransur-ansur susut seiring berkembangnya agama Islam di Jambi yang berdampak berubahnya struktur kerajaan menjadi kesultanan. Pangeran Kedah dengan gelar Sultan Abdul Kahar merupakan sultan pertama di masa Islam yang diangkat tahun 1615 menggantikan Panembahan Kota Baru (1590-1615), Panembahan Bawah Sawo (1565-1590), Panembahan Rengas Pandak (1540-1565), Panembahan Rantau Kapas atau Pangeran Hilang Diaer (1515-1540), dan Orang Kayo Hitam.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar terjadi kontak pertama dengan Sterk, seorang pedagang Belanda yang mengizinkan membangun loji di Muarakumpeh. Tetapi campur tangan Belanda dalam pemerintahan kesultanan diawali pada kontrak pertama tahun 1643 dan kontrak selanjutnya menggerogoti kekuasaan Kesultanan Jambi. Tekanan dan campur tangan Belanda semakin kuat di masa kesultanan dipangku oleh Pangeran Ratu Abdurrahman Zainuddin menggantikan Sultan Muhammad Fachruddin yang wafat tahun 1841 dengan Pangeran Ratunya Pangeran Thaha Syaifuddin bergelar Pangeran Ratu Jaya Diningrat.
Ketika Sultan Abdurrachman Zainuddin wafat Pangeran Ratu Jayaningrat Raden Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai Sultan di tahun 1855. Sultan Thaha dengan tegas bertekad mengembalikan hak-hak rakyat dan kerajaan terlepas dari campur tangan Pemerintah Hindia Belanda. Empat puluh enam tahun perjuangan Sultan Thaha yang berlangsung dengan dukungan rakyatnya, akhirnya pada 26 April 1904 Sultan Thaha gugur dalam serangan tentara Hindia di Betung Berdarah, Tebo. Kendati Sultan Thaha tewas, perlawanan terhadap kedudukan tentara Hindia Belanda terus berlangsung hingga tahun 1920, saat Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan bala bantuan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Batavia.
Kedatangan tentara pendudukan Jepang ke Jambi seiring penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Pendudukan Jepang di Kalijati, Subang, cukup memberikan penderitaan bagi rakyat Jambi. Kehidupan ekonomi rakyat lumpuh karena kewajiban mengumpulkan bahan-bahan pangan seperti padi, jagung, dan lain-lain guna persediaan makanan tentara Jepang menghadapi sekutu. Setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Seokarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kelanjutan dari proklamasi, secara spontan para pemuda di Jambi melakukan pengibaran Bendera Merah Putih di menara air PDAM (Menara Benteng).
Di awal kemerdekaan dibentuk provinsi-provinsi berdasarkan pulau dan kepulauan, seperti Sumatera yang saat itu berupa satu provinsi dengan ibukotanya Medan dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernurnya. Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera pada sidang di Bukittinggi pada 18 April 1946 memutuskan Sumatera dijadikan 3 sub provinsi, yaitu Ssub Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; Sub Provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari Keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; dan Sub Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri dari Keresidenan Palembang, termasuk Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung.
Pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Militer I dengan pengeboman dan penembakan ke berbagai daerah di Jambi, seperti lapangan terbang Pal Merah dan Kapal Berjentera "Tek Kho Seng" di Selat. Agresi Belanda dilanjutkan Agresi Belanda II pada 29 Desember 1948 dengan menyerang kota Jambi dari darat, laut, dan udara. Mengantisipasi serangan-serangan tersebut, muncul perlawanan-perlawanan rakyat di berbagai daerah di Jambi, seperti Perang Simpang III Sipin, Pertempuran Laut di Tungkal, dan lain-lain.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949 memberikan motivasi rakyat Jambi untuk dapat berdiri sendiri secara otonom, lepas dari Propinsi Sumatera Tengah.Akhirnya pada tahun 9 Agustus 1957 Presiden Soekarno menandatanggani Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kini undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1957.
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan jiwa dan raga rakyat Jambi kini diisi dengan pembangunan di segala bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Jambi. (Budi Prihatna)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar