Kamis, 24 Oktober 2013
PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
PAHLAWAN NASIONAL: SULTAN THAHA
(Oleh: Drs. H. Junaidi T. Noor, M.M)
Sultan Thaha Saifuddin adalah Pahlawan Nasional yang dikukuhkan melalui Keputusan Presiden RI No.079/TK/Tahun 1977, tanggal 24 Oktober 1977. Penganugerahan gelar tersebut sebagai penghargaan atas tindak kepahlawanannya dalam membela bangsa dan Negara. Pengharagaan itu memang layak, karena masa perjuangan pahlawan Sultan menentang penjajah Belanda berlangsung lama, yaitu 46 tahun (1858-1904). Perlawanan yang sedemikian lama dengan luas cakupan wilayah yang melebar membutuhkan penanganan dan strategi yang mantap. Semua sumber daya dan komponen pendukung berada dalam jejaring koordinasi dapat berfungsi pada status dan kedudukannya masing-masing. Katakanlah sebagai suatu sistem, perlawanan Sultan dalam masa yang begitu lama ditopang oleh kemampuan strategis dan manajerial yang mumpuni.
Kemampuan mendayagunakan sumber daya perangkat perang atau pasukan, dalam suatu perang gerilya dukungan lingkungan masyarakat di kantong-kantong perlawanan ikut menentukan sifat gerilya itu sendiri. Kekuatan pemukul pada serangan tiba-tiba atau penghadangan pasukan Sultan terhadap pasukan dan patroli Belanda. Selain kemampuan “hit and run”, juga dukungan kemampuan strategi dari mata-mata intelijen dan analisis kekuatan sendiri maupun lawan.
Pengejaran Belanda terhadap mobilitas kedudukan Sultan Thaha sebagai pemimpin besar pasukan Fisabilillah dapat dideteksi Belanda sejak dikuasainya Muaro Tembesi di tahun 1901. Itupun di tahun 1903 Belanda punya keyakinan posisi keberadaan Sultan, yaitu Pematang Tanah Garo.
Terlepas dari legenda adanya tunggangan (kendaraan) dalam wujud dua ekor harimau peliharaan, Sultan Thaha Saifuddin menunjukkan kemampuannya sebagai seorang Panglima, pemimpin perang gerilya dengan strateginya yang terkenal, yaitu bertemu langsung dengan (utusan) Belanda dalam setiap perundingan yang digagas Belanda. Perundingan tersebut sebenarnya merupakan wahana lobi menekan Sultan untuk takluk dan diikat oleh perjanjian.
Strategi perjuangan yang dipatri sumpah setia untuk memegang teguh bahwa “Sultan tidak mati” menimbulkan berbagai versi ketidakpercayaan bahwa yang dimakamkan di Muaro Tebo bukan jasad Sultan Thaha, tetapi jasad salah seorang panglima atau pengawalnya. Belanda jelas tidak dapat memastikan pula karena tidak mengenal wajah dan sosok Sultan Thaha, karena Sultan berpantang berhadapan muka dengan Belanda.
Strategi pemindahan secara cepat dan persebaran front perlawanan, menunjukan perlawanan terorganisir, terangkai dalam komunitas yang fleksibel dan langsung. Strategi pemindahan ini dilakukan melalui tipe berantai maupun melalui cara yang tak kenal lelah.
Selain itu, mengadakan hubungan perdagangan dengan perwakilan dagang atau negara, seperti Turki, Inggris atau Amerika yang ada di Semenanjung Malaka melalui sistem barter hasil hutan dan perkebunan dengan persenjataan maupun suplai kebutuhan hidup Sultan dan pasukannya di daerah uluan DAS Batanghari. Penggunaan kamuflase perahu/ kapal dagang (kapal canon/kenen) ternyata cukup ampuh untuk melewati barikade dan patrol Belanda di DAS ilir Batanghari, termasuk pusat markas Belanda di Jambi maupun di Muaro Kumpeh. Simpul-simpul pasokan kebutuhan Sultan dipegang oleh Pangeran Wiro Kesumo sebagai anggota Pepatih Dalam, sahabat, dan besan Sultan Thaha Saifuddin beserta beberapa orang lainnya.
Alasan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin bukan saja adanya markas Belanda di Muaro Kumpeh atau tambahan kekuatan pasukan Belanda. Tambahan pasukan ini didatangkan dari Batavia ke Muaro Kumpeh di bawah pimpinan Mayor Van Langen dengan 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858, tetapi jauh melebihi itu.---- edit sampai sini.
Tekanan Belanda melalui perjanjian Sungai Baung (Rawas) pada 14 November 1833 yang ditandatangani Sultan Muhammad Fachruddin dengan Letkol Michiels begitu menyakitkan hati Sultan Thaha. Betapa tidak, Belanda menguasai dan melindungi Kerajaan Jambi. Bahkan penguasaan itu memberi kebebasan Kerajaan Belanda untuk mendirikan tempat pertahanan di mana saja yang menurut Belanda strategis dan dapat mendukung kepentingan Belanda. Dampak perjanjian ini berdirilah markas patrol Belanda di Muaro Kumpeh yang sejak semula dipandang strategis sebagai pintu keluar masuknya pelayaran DAS Batanghari. Pendirian di lokasi tersebut cukup taktis untuk mengawasi pusat pemerintahan Kesultanan Jambi, baik pertahanan maupun ekonomi melalui perdagangan hasil bumi, perkebuna,n dan hutan.
Perjanjian Sungai Baung ini oleh Residen Palembang, yaitu Proeforiut dikukuhkan ke dalam bentuk traktat pada 15 Desember 1834. Dalam traktat tersebut dipertegas ikatan penguasaan yang lebih melebar dengan detail menambah ekspansi sebagaimana dimuat dalam perjanjian tambahan yang kemudian disyahkan parlemen Belanda pada 21 April 1835. Perjanjian ini ditandatangani Sultan Muhamad Fachruddin dan Pangeran Ratu Martaningrat Abdurrahman serta disaksikan para pembesar kerajaan dan keluarga istana Tanah Pilih.
Perjanjian tanggal 21 April 1835 tersebut memberikan kewenangan Pemerintah Belanda memungut cukai ekspor-impor barang-barang. Sebagai ganti rugi, Sultan dan Pangeran Ratu menerima f. 8000 setahun, dan Pemerintah Belanda memiliki hak monopoli penjualan garam. Yang menyakitkan dan ironisnya, dalam perjanjian tersebut dinyatakan Jambi menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu pemerintah Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam kerajaan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan berkenaan dengan cukai yang menjadi hak dan kewenangan Pemerintah Belanda.
Aplikasi perjanjian Sultan Jambi dengan pemerintah Belanda itu menjadi bahan kajian dan rekaman perbandingan dalam diri Sultan. Perbandingan baik ketika menuntut ilmu di Tanah Rencong Aceh Darussalam maupun perjalanan muhibahnya ketika diangkat sebagai Pangeran Ratu mendampingi pamannya yang dinobatkan sebagai pengganti Sultan Muhamad Fachruddin, yaitu Sultan Abdurrahman Nazaruddin (1841-1855).
Pada masa Raden Thaha menjadi Pangeran Ratu ia menyaksikan dan merasakan campur tangan Belanda terlalu jauh, berlindung pada perjanjian-perjanjian yang ditandatngani ayahnya (Sultan Muhamad Fachruddin). Jiwa patriotnya mulai menggelembung. Tanpa musyawarah dengan sang pamannya sebagai Sultan, Pangeran Ratu Thaha Saifuddin mengadakan kontak dengan misi dagang Amerika (Walter Gibson) untuk pembelian senjata. Perjanjian ini merupakan wujud persiapan perlawanannya mengusir Belanda dari Jambi.
Upaya Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam mempersiapkan perlawanan bersenjata, pembangkangan, dan penghindaran pemungutan cukai diketahui Belanda. Walter Gibson ditangkap dan dibawa ke Batavia. Asisten Residen Strom Vans’Graven Sande dari Palembang dikirim untuk menginspeksi kantor Belanda di Muaro Kumpeh dan menghadap Sultan Abdurrahman Nazaruddin untuk memperingati Sultan agar mematuhi perjanjian (1834,1835) dan melarang memperdagangkan alat persenjataan. Peringatan ini tidak digubris. Orang Jambi tetap melakukan penghindaran diri dari pemungutan cukai. Orang Palembang tetap mengadakan hubungan dalam jual-beli bahan peledak, mesiu, dan senjata api. Pengawasan Belanda terhadap Kesultanan Jambi semakin keras dan ketat. Akibat tekanan-tekanan Belanda itu menimbulkan ketidaksenangan dan menuai perlawanan. Perlawanan tersebut masih terselubung karena tidak diperkuat peralatan dan perlengkapan yang sebanding dengan peralatan Belanda.
Awalnya perlawanan rakyat Jambi dengan Belanda masih bersifat pemboikotan penjualan hasil bumi, hutan, maupun perdagangan lain yang dimonopoli Belanda. Akibat pemboikotan ini, kantor dagang di Muaro Kumpeh ditutup, karena tidak ada transaksi penjualan hasil bumi kepada Belanda. Kondisi ini tidak diinginkan Belanda. Berbagai upaya untuk mengadakan perjanjian baru terus dilakukan kendati tidak mendapat tanggapaan, apalagi Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dalam kewenangannya sebagai Perdana Menteri semakin membatasi kemungkinan diadakannya pertemuan dengan Belanda.
Ketika Pangeran Ratu Thaha Saifuddin dinobatkan menjadi Sultan pada tahun 1856, ia tidak mengajukan restu ke Pemerintah Belanda. Sultan hanya memberitahun penobatannya, karena yang dibuat melalui perjanjian adalah pelanggaran terhadap kedaulatan Sultan yang mengarah pada jalan pencaplokan kesultanan. Dengan berani Sultan Thaha membatalkan semua perjanjian dengan Belanda yang dibuat secara paksa oleh ayahnya.
Sikap perlawanan yang ditujukan Sultan sangat mengejutkan Belanda. Apalagi beberapa tahun kemudian, yaitu tahun 1857 Belanda mengetahui Sultan mengutus Pangeran Ratu Martaningrat menyampaikan surat kepada Sultan Turki (masa itu diakui sebagai khalifah dunia Islam) melalui Perwakilan Kesultanan Turki di Singapura untuk mengumumkan larangan campur tangan atas urusan dalam negeri Jambi bagi semua kekuatan di kawasan itu (Taufik Abdullah, 1984). Tak ada jalan lain, Belanda mengancam menangkap Sultan dan membuangnya ke Batavia. Sultan tak gentar, bahkan mempersiapkan pasukan menyerang Muaro Kumpeh.
Belanda kembali menawarkan perundingan sambil memperkuat diri dengan mendatangkan kapal perang dengan 800 personil ke Muaro Kumpeh pada akhir Agustus 1858. Perundingan gagal dan Belanda memutuskan mengirim pasukan ke Jambi, sekaligus mengultimatum Sultan Thaha untuk menandatangani perjanjian baru. Apabila menolak, Sultan akan diganti dan diasingkan ke Batavia. Ultimatum dan pemaksaan ini dijawab Sultan “Kerajaan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan akan kami pertahankan dari perjanjian atau perkosaan oleh siapapun juga dengan tetesan darah yang penghabisan, tidak ada pedoman yang lebih celaka dari pada ketakutan“ (A. Mukti Nasrudin,1986). Sultan semakin gigih mempersiapkan perlawanan.
Tanggal 25 September 1858, Mayor Van Langen dengan kekuatan militernya menyerbu Jambi. Semama 2 hari terjadi pertempuran sengit dan pasukan Sultan terpaksa mundur setelah berhasil menenggelamkan kapal perang Houtman. Istana Tanah Pilih berhasil dikuasai Belanda yang sebelumnya dibumihanguskan oleh Sultan sendiri.
Sebelum terjadinya penyerangan Belanda ke Tanah Pilih Jambi, Sultan Thaha Saifuddin mengadakan pertemuan dengan semua pangeran dan pembesar Kerajaan Jambi. Pertemuan tersebut membahas persiapan bahan makanan yang cukup di basis-basis pedalaman. Mereka juga bertekad tidak akan menyerah kepada Belanda dan tidak berkhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri.
Persiapan yang dilakukan dari sisi perlawanan rakyat adalah penggeseran pusat pemerintahan dan perlawanan ke hulu DAS Batanghari berjalan dengan baik. Muaro Tembesi ditetapkan sebagai benteng pertahanan untuk menghadang Belanda dan Markas Komando Pusat Perlawanan, sebagian lain ke Lubuk Ruso dan Dusun Tengah. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sultan Thaha di Muaro Tembesi, ditunjuk Pangeran Hadi sebagai Kepala Bala Tentara, Pangeran Singo sebagai Kepala Pemerintahan Sipil, dan Pangeran Lamong dipercaya menjabat Kepala Keuangan (Zuraima,1996). Upaya memperkuat mesin perangnya, selain secara estafet menanamkan semangat juang kepada rakyat, Sultan juga mengadakan kapal dagang pengangkut hasil Jambi ke luar negeri untuk ditukar dengan senjata. Kapal tersebut diberi nama “Canon atau Kenen” yang sebagian besar diawaki pelaut Inggris. Kapal Kenen ini adalah kapal Inggris yang dirombak sedemikian rupa oleh Pangeran Wiro Kusumo dan Temenggung Jafar menjadi kapal dagang.
Bermodalkan persenjataan yang cukup modern di masa itu, Sultan membangun pasukan fisabilillah berkekuatan 20.000 personil dibawah asuhan pelatih yang didatangkan dari Aceh Darussalam. Pasukan fisabilillah ini kemudian dipecah ke dalam tiga Front Komando (Usman Meng, Zuraima: 1996), yaitu wilayah Muaro Tembesi, Batang Tembesi, Serampas, Sungai Tenang, Merangin, Mesumai, Tantan, Pelepat, Senamat, Tabir sampai ke Kerinci berada dibawah komando Tumenggung Mangku Negoro dengan dibantu para Panglima Pangeran H.Umar bin Pangeran H.Yasir dan Depati Parbo. Mulai dari Muaro Tembesi, sepanjang Sungai Batanghari, Batang Tebo, Batang Bungo, Jujuhan, Tanjung Simalidu langsung dipimpin Sultan Thaha dan dibantu oleh saudaranya Pangeran Diponegoro (Pangeran Dipo). Selanjutnya dari Muaro Tembesi kehilir Kumpeh, Muaro Sabak dan Tungkal dibawah Komando Raden Mattaher, dibantu oleh Raden Pamuk dan Raden Perang.
Kepada para panglima di masing-masing wilayah diamanatkan untuk memobilisasi kekuatan rakyat, meningkatkan pertahanan di wilayah masing-masing dan melakukan sabotase atau penyerangan tiba-tiba pada pos-pos atau patroli Belanda tanpa menunggu komando Sultan. Bahkan Raden Anom berhasil merebut beberapa pucuk senjata di Balai Pertemuan dan beberapa pos Belanda di Jambi (April 1895). Serangan mendadak juga terjadi di Sarolangun Rawas (Februari 1890) dibawah pimpinan H. Kedemang Rantau Panjang dibantu beberapa Hulubalang, Belanda sangat terkejut oleh serangan tiba-tiba seperti itu, apalagi didukung oleh peralatan yang cukup modern.
Tidak mengherankan apabila Sultan melakukan pembagian wilayah penyerangan dan penyerangan secara mobil, juga terhadap patroli-patroli yang dilakukan Belanda dalam upaya menangkap terhadap Sultan Thaha. Terjadilah pertempuran sporadis di masing-masing wailayah cukup memusingkan Belanda dan terpaksa Belanda memperkuat pertahanannya dengan mendatangkan marsose (pasukan istimewa) dari Aceh dan Palembang.
Sementara itu, di tahun 1893 Pangeran Diponegoro dan Pangeran Kusen membangun kantor bea cukai di Muaro Sungai Tembesi, Muaro Sikamis, Sungai Aro. Kegiatan ini jelas memukul upaya Belanda memungut cukai atas barang-barang yang dibawa dari pedalaman. Barter hasil Jambi yang dilakukan Sultan tetap berjalan melalui DAS Batanghari tanpa dapat terdeteksi Belanda.
Pihak Belanda pun tidak mengetahui bahwa di jantung Batang Tabir terbangunrumah besak (istana) di Pematang Tanah Garo yang sebagian bahan bangunannya dipasok dari Jambi dan Singapura oleh Pangeran Wiro Kusumo. Bahkan lepas dari pengamatan Belanda di Jambi, Sultan pun sempat melaksanakan pernikahan anaknya dengan Putra Said Idrus gelar Pangeran Wiro Kusumo di rumah besak Pematang Tanah Garo selama satu bulan secara meriah. Ketertutupan pertahanan dan kediaman keluarga Sultan dari pengamatan Belanda ini antara lain adanya kesetiaan pengikut dan rakyatnya atau kemungkinan pengalihan perhatian Belanda yang lebih besar ke daerah lain.
Sumpah setia (Setih Setio) para pengikut mengikuti anjuran Sultan bahwa “Apabila keadaan memaksa untuk menyerah kepada Belanda, berpura-pura lah kamu menyerah. Apabila ada kesempatan Belanda menanyakan dimana tempat Sultan Thaha Saifuddin, janganlah kamu menunjukan tempat itu. Sumpah ini tetap dipegang kuat dan menyebabkan Belanda kewalahan mendeteksi keberadaan Sultan dan pertahanannya.
Medan pertempuran Sultan Thaha berpindah dari satu tempat ke tempat lain sesuai garis strategis perlawanannya. Pusat komando tersebar dalam mobilitas kepemimpinan seorang panglima yang konon didukung oleh kemampuan spiritual dan hewan kendaraan (harimau) yang juga setia mendampingi Sultan bergerak dari satu front ke front lain.
Menghadapi ketidakmampuan operasi militer belanda lewat patroli yang sering diserang dengan tiba-tiba atau adanya aral rintang di permukaan sungai, anak-anak sungai DAS, pihak belanda selalu mengupayakan mengadakan perundingan. Sultan dengan teguh hati tetap menolak upaya Belanda tersebut. Sultan tidak mau berunding dan menyatakan:“Saya tidak mau berunding dengan Belanda. Apabila saya berunding (tatap muka) dengan mereka, hilanglah amal saya selama 40 hari “.
Pada tahun 1894, Sultan Thaha akhirnya mengizinkan Pangeran Ratu mengadakan pertemuan dengan Roodt Van Oldenber Nepelt di Muaro Ketalo. Sultan mengikuti perundingan dari kamar sebelah ruang pertemuan. Perundingan tersebut gagal, karena Belanda tetap menghendaki kesultanan Jambi berada dibawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya Sultan tetap pada pendiriannya, bahwa urusan Kesultanan Jambi sepenuhnya tidak dapat dicampuri Belanda.
Gagalnya perundingan tersebut, Belanda tetap berupaya menangkap Sultan. Untuk itu penguasa Belanda dengan gencar mengadakan patroli dan menambah personil untuk menggempur pusat pertahanan Sultan di Muaro Tembesi. Sebelum tindakan militer, Belanda mengirim kepala staf angkatan perangnya G.W. Beeger ke Jambi untuk mengkoordinasikan data intelijen dan informasi yang mendukung operasi militer besar-besaran. Peta-peta topografi disempurnakan, terutama mengenai sungai, jalan-jalan tikus antar dusun di daerah Jambi, maupun jalan kecil yang menghubungi Rawas dengan Jambi. Data dan informasi tersebut segera diolah, karena Belanda mendapat informasi yang cukup merisaukan, yaitu adanya penyelundupan senjata api repeater sampai 1500 buah. Pada 4 September 1890 kembali tim intel Belanda dikirim ke sekitar Muaro Tembesi untuk mengamati dan membuat perhitungan strategis militer menyusul adanya informasi pedagang dari Sumatera Barat yang diharuskan membayar cukai di Sungai Aro.
Awal November 1900, kapal-kapal penyelidik bersenjata sudah dekat Muaro Tembesi, tapi show of force itu tidak dilanjutkan, karena Belanda masih tetap berupaya mengadakan perundingan. Selain itu pihak Belanda sedang merampungkan program pembangunan jalan darat dari Jambi ke Muaro Tembesi sebagai sarana pendukung mobilisasi pasukan infantri dan peralatan serta perbekalan perang. Alur-alur sungai pun semakin disempurnakan untuk pengerahan kapal-kapal perangnya dari Jambi.
Kapal-kapal penyelidik belanda yang berlayar sampai hulu Batanghari (Teluk Kayu Putih) tidak mendapat gangguan. Sikap penduduk pun cukup bersahabat, tidak memusuhi Belanda. Rupanya sikap itu sesuai perintah Sultan Thaha agar Belanda tidak mencurigai adanya pos-pos pertahanan pasukan Sultan.
Sultan menilai gangguan terhadap kapal penyelidik tersebut akan berdampak pada mobilisasi pasukan yang lebih besar, sementara itu Sultan sendiri sedang menghimpun kekuatan dan persiapan kemungkinan serangan besar-besaran ke Muaro Tembesi.
Pada 21 Maret 1901 pasukan Belanda dari Palembang tiba dan membangun benteng di Muaro Tembesi tanpa ada bentrokan dengan pasukan Sultan atau Pangeran Diponegoro. Kendati pendudukan Belanda di Muaro Tembesi berlangsung cepat, tapi Belanda tidak berhasil mendapatkan informasi tentang keberadaan Sultan dan pasukannya. Para kepala dusun atau rakyat yang dipanggil ambtenar Belanda tetap bersahabat tapi tetap membungkam.
Pencarian terus dilakukan atas dasar laporan Christian tertanggal 20 Februari 1901, bahwa Sultan Thaha berada di Pematang Dipo di Parunusan yang terletak di tepian sungai Tabir. Sungai itu ditebari batang-batang kayu sehingga kapal kecil pun tak dapat melayarinya. Laporan lain, kepada komando angkatan darat menginformasikan posisi penting jalan setapak antara Parunusan ke Pematang yang harus dikuasai untuk masuk ke tempat berkumpulnya para pembesar Kesultanan. Patroli harus sering dilakukan untuk mengganggu konsentrasi Sultan. Dalam laporan tertanggal 12 Juni 1901 disarankan untuk bertindak tegas terhadap Sultan dan menutup Muaro Tabir. Operasi penangkapan terus dijalankan dengan pengerahan pasukan bersenjata atau setidak-tidaknya mendorong Sultan keluar dari persembunyiannya.
Suasana yang dianggap tenang oleh Belanda dalam pendudukan di Muaro Tembesi, ternyata terganggu oleh penyerangan kedudukan kontroler di Sarolangun pada 30 Mei 1901. Pada 6 Juni 1901 beberapa pos di tepi sungai Batanghari juga diserang. Lampu-lampu di seberang Muaro Tembesi berhasil dilenyapkan oleh pasukan Sultan pada 11 Juli 1901 dan pada 27 Juli 1901 pasukan patrol Belanda ditembaki dengan gencar oleh pasukan Sultan. Pada 13 Juli 1901 pasukan Belanda yang sedang berpatroli di Singkut ditembaki sehingga satu orang juru tembak Belanda tews dan dua orang lainnya menderita luka.
Serangan-serangan di Singkut tersebut mendorong Belanda menambah kekuatan pasukan Ambon dari Batalyon Garnizun Magelang. Perlawanan semakin seru walau akhirnya pasukan Sultan meninggalkan Singkut dan tidak seorang pun yang menyerah. Benteng-benteng perlawanan, seperti Tanjung Limbur, Limbur, Merangin, Pelayangan, Sekancing, Limbur Tembesi, Datuk Nan Tigo, Kuto Rayo, Sungai Manau, Sungai Alai, dan Muaro Siau berturut-turut berhasil diduduki pasukan Belanda. Walaupun demikian Sultan Thaha dan pasukannya masih tetap melakukan serangan-serangan bergerilya.
Belanda akhirnya menggerakan pasukan-pasukan yang ada di Bayung Lincir, Sarolangun Rawas, Muaro Tembesi, Sijunjung, Tebo, dan Jambi untuk melakukan serangan serentak ke wilayah Tabir setelah didapat kepastian posisi Sultan berada disana.
Tampaknya strategi penyempitan wilayah pertahanan dan perlawanan Sultan yang dilakukan Belanda cukup efektif menjerat posisi Sultan Thaha. Rupanya anti gerilya belanda memutus komunikasi Sultan, Belanda menerapkan serangan ovensif agresif dengan dukungan personil yang banyak dan persenjataan yang kuat. Personil intel yang fleksibel dan akurat prajurit pribumi dan isyarat seorang Demang yang dipaksa Belanda membuka rahasia keberadaan Sultan Thaha..
Pasukan infantri yang dipimpin Letnan G.Badings menyelusuri Sungai Tabir menuju Bangko Pintas pada 23 April 1904. Juga dari penapalan, Remaji, dan Muaro Sunga Api (Rantau Api) bergerak pasukan infantr pada 25 April 1904. Semua pasukan tersebut serentak maju ke Betung Bedaro. Situasi tersebut disadari Sultan yang pada saat itu berada di Rumah Besak Pematang Tanah Garo. Malam itu tanggal 26 April 1904 Sultan berpesan pada Hulubalang “Menurut gerak perasaan saya kemungkinan besar malam ini akan terjadi pertempuran. Kalau itu terjadi musuh tidak akan dapat menyentuh badan saya hidup-hidup, karena saya tidak rela kulit saya disentuh oleh musuh dan ditawan adalah pantang besar bagi saya”. Malam itu terbukti tekad perjuangan Sultan Thaha yang berjuang sampai titik darah penghabisan ke bumi persada ibu pertiwi. Seiring munculnya mentari di ufuk timur pada 27 April 1904, Sultan Thaha gugur dalam kancah desingan peluru Belanda dengan pedang masih tergenggam di tangan. Benarlah tak ada kata menyerah bagi sang panglima.
Sebagai seorang Panglima, Sultan Thaha Saifuddin memegang prinsip sampai akhir hayatnya tidak pernah mau berunding dengan pihak Belanda. Sultan cukup menyadari bahwa setiap perundingan dengan Belanda pada intinya adalah pengekangan dan intervensi terhadap kedaulatan kesultanan Jambi.
Untuk menghadapi siasat licik Belanda melalui perjanjian yang dipaksakan, Sultan melancarkan perlawanan gerilya sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya di bawah pimpinan hulubalangnya dalam tiga front. Selain itu, sikap tidak mau bertemu Belanda semakin memoles sikap politik Sultan dalam menggelorakan semangat perjuanggannya yang belakangan menimbulkan keraguan atas wafatnya Sultan di medan laga Betung Bedaro.
Strategi gerilya Sultan dalam format modern ternyata mendapatkan prlawanan anti gerilya yang cukup ampuh menekan dan mempersempit posisi Sultan yang ditutup dengan serangan frontal ovensif berkekuatan besar. Walapunu kemudian Belanda meyakini perang dengan Sultan adalah perang tanpa perdamaian.
Pada saat terakhir ada upaya perlindungan terhadap Sultan yang dilakukan oleh Pangeran Ratu Martadiningrat pada bulan Desember 1903. Pangeran Ratu kembali ke Jambi dan menyerahkan keris kepangeranan Ratunya “Singamarjayo” kepada Residen Palembang. Tindakan ini dilakukan karena usia Sultan sudah lanjut (87 tahun dan selama 46 tahun dari umurnya dalam perjuangan). Menurut Belanda bersama penyerahan keris Singamarjayo, Pangeran Ratu juga menyerahkan keris “Siginje” sebagai perlambang kekuasaan Kesultanan.
Alur cerita ini seperti pertanda takdir berakhirnya perlawanan Sultan. Sultan Thaha memaklumi sikap proteksi terhadap dirinya dari Pangeran Ratu Martadiningrat, sedangkanBelanda menyikapi langkah itu dengan kesangsian besar bahwa tanpa keris Siginje pun Sultan Thaha akan tetap melakukan perlawanan dan dia pun tetap dipatuhi sebagai Sultan.Oleh karena itu Belanda tetap melakukan pengejaran terhadap Sultan yang tidak menyerah sampai titik darah penghabisan.
Nilai kejuangan Sultan ini tetap relevan bagi kita dalam pembangunan daerah disegala bidang, yaitu tanpa kenal menyerah terhadap berbagai kendala dan keterbatasan. Sistem zoning dalam perkuatan sumber daya merupakan salah satu perkuatan di dalam kita menyikapi wilayah kerja yang terlalu luas. Manajerial dan skill Sultan patut menjadi pegangan dalam penanganan wilayah (bpx).
Sultan Thaha Syaifuddin
Sultan
Thaha Syaifuddin
Pangeran Ratu Jayaningrat atau Sultan
Thaha Syaifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang berpendirian teguh,
tegas, terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan bertaqwa kepada Allah.
Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Kesultanan Sumatra
dan Negara Kolonial menggambarkan karakter Sultan Thaha sebagai
seorang yang mempunyai kepribadian kuat dan teguh dalam tindakan-tindakannya.
Bahkan Laging Tobias menggambarkan musuh politiknya sebagai sosok yang energik
dan bertemperamen panas, tetapi tulus. Walaupun tidak mudah percaya kepada
orang asing, dia menaruh kepercayaan besar pada orang-orang asing yang
membuktikan kejujuran mereka. Sikap lahiriahnya terhadap Belanda tegas,
diplomatis, dan yang paling penting konsisten antara pandangan dan tindakannya
(2008: 137).
Saat menaiki
tahta Kesultanan Jambi menggantikan kedudukan Sultan Abdurrahman Zainuddin yang
wafat tahun 1855, beliau mengeluarkan dikrit sebagai tindakan tegas terhadap
Belanda. Tindakan tegas itu menunjukkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah
Hindia Belanda berupa tidak menerima dan membatalkan seluruh perjanjian tahun
1833 dan 1834 yang dibuat sultan-sultan sebelumnya. Perjanjian antara Kesultanan
Jambi dengan Pemerintah Hindia Belanda merongrong kewibawaan Kesultanan Jambi
dan menyengsarakan rakyat, seperti memungut cukai ekspor dan impor barang;
berhak memonopoli penjualan garam; Jambi menjadi bagian dari Pemerintah Hindia
Belanda; dan Pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan
dalam Kesultanan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada
penggelapan yang berkenaan dengan cukai.
Memahami dampak dari pembatalan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834, Sultan Thaha Syaifuddin memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat berangkat ke Singapura menitipkan surat pada seorang pembesar Singapura untuk disampaikan kepada Sultan Turki tahun 1857. Tujuannya meminta pengakuan eksistensi Kesultanan Jambi di bawah kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan bantuan senjata untuk menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Jambi. Sebagai jawabannya, Kerajaan Turki menyerahkan bintang tertinggi kerajaan, tetapi tidak dapat memberikan bantuan militer karena jaraknya yang jauh dan blokade Pemerintah Belanda.
Menghadapi sikap keras, Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum kepada Sultan Thaha dengan 1) memberi kesempatan kepada Sultan Thaha membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda; 2) apabila Sultan Thaha membangkang, Pemerintah Hindia Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kesultanan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perjanjian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirimkan utusan kesultanan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda; 4) dan jika semuanya ditolak, Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Ultimatum tersebut dijawab dengan kalimat: "Kesultanan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan kami akan mempertahankan dari penjajahan oleh siapapun dengan tetesan darah kami yang penghabisan".
Memahami dampak dari pembatalan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834, Sultan Thaha Syaifuddin memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat berangkat ke Singapura menitipkan surat pada seorang pembesar Singapura untuk disampaikan kepada Sultan Turki tahun 1857. Tujuannya meminta pengakuan eksistensi Kesultanan Jambi di bawah kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan bantuan senjata untuk menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Jambi. Sebagai jawabannya, Kerajaan Turki menyerahkan bintang tertinggi kerajaan, tetapi tidak dapat memberikan bantuan militer karena jaraknya yang jauh dan blokade Pemerintah Belanda.
Menghadapi sikap keras, Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum kepada Sultan Thaha dengan 1) memberi kesempatan kepada Sultan Thaha membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda; 2) apabila Sultan Thaha membangkang, Pemerintah Hindia Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kesultanan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perjanjian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirimkan utusan kesultanan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda; 4) dan jika semuanya ditolak, Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Ultimatum tersebut dijawab dengan kalimat: "Kesultanan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan kami akan mempertahankan dari penjajahan oleh siapapun dengan tetesan darah kami yang penghabisan".
Pemerintah Hindia Belanda yang merasa
terhina oleh sikap Sultan Thaha akhirnya memutuskan menyelesaikan masalah
Jambi dengan kekerasan. Pada tanggal 25 September 1858 wakil Pemerintah Hindia
Belanda di Jambi menerangkan dengan resmi bahwa tidak mengakui kedaulatan
Sultan Thaha dan menganggap Sultan Thaha sudah diturunkan dari tahta
kesultanan.
Ketika Belanda menduduki kraton, mereka mendapatinya kosong, karena Thaha dan pengiringnya sudah mengungsi ke perbatasan di dataran tinggi. Walaupun digulingkan, Sultan Thaha tetap menjadi Sultan Jambi dan dapat terus memerintah dari tempat lain di dataran tinggi. Dalam pengungsiannya Sultan Thaha membawa serta pusaka kesultanan, seperti Keris Si Ginjei dan rakyat wajib menaati perintah sultan. Di pengasingannya Thaha bersama pengikutnya tetap melakukan perlawanan dengan bergerilya yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan Sultan Thaha berakhir pada tanggal 26 April 1907 dengan diserangnya dari segala penjuru tempat persembunyiannya di Betung Berdarah, Kabupaten Muara Tebo. Walaupun Sultan Thaha Syaifuddin gugur, perlawanan rakyat terus berlanjut hingga tahun 1907 dinyatakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa Jambi berhasil ditaklukan.
Untuk mengenang kegigihan perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin menentang hegemoni Pemerintah Hindia Belanda diwujudkan dalam sebuah patung sosok Sultan Thaha Syaifuddin di beberapa tempat, seperti di muka Kantor Gubernur Provinsi Jambi, di Museum Keprajuritan TMII Jakarta, dan di pintu utama Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (Budi Prihatna).
Ketika Belanda menduduki kraton, mereka mendapatinya kosong, karena Thaha dan pengiringnya sudah mengungsi ke perbatasan di dataran tinggi. Walaupun digulingkan, Sultan Thaha tetap menjadi Sultan Jambi dan dapat terus memerintah dari tempat lain di dataran tinggi. Dalam pengungsiannya Sultan Thaha membawa serta pusaka kesultanan, seperti Keris Si Ginjei dan rakyat wajib menaati perintah sultan. Di pengasingannya Thaha bersama pengikutnya tetap melakukan perlawanan dengan bergerilya yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan Sultan Thaha berakhir pada tanggal 26 April 1907 dengan diserangnya dari segala penjuru tempat persembunyiannya di Betung Berdarah, Kabupaten Muara Tebo. Walaupun Sultan Thaha Syaifuddin gugur, perlawanan rakyat terus berlanjut hingga tahun 1907 dinyatakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa Jambi berhasil ditaklukan.
Untuk mengenang kegigihan perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin menentang hegemoni Pemerintah Hindia Belanda diwujudkan dalam sebuah patung sosok Sultan Thaha Syaifuddin di beberapa tempat, seperti di muka Kantor Gubernur Provinsi Jambi, di Museum Keprajuritan TMII Jakarta, dan di pintu utama Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (Budi Prihatna).
Sejarah Jambi
Sejarah
Jambi
Rangkaian sejarah perjuangan masyarakat
Jambi dipaparkan dalam panil-panil relief yang terdapat di dinding depan dan
dalam museum. Rangkaian sejarah tersebut diawali pada masa Kerajaan Melayu Kuno
yang berkedudukan di pantai timur Sumatera dengan pusatnya sekitar Jambi.
Keberadaan Kerajaan Melayu Kuno ini terdapat pada catatan Dinasti Tang yang
memberitakan adanya utusan dari Mo-Lo-Yeu pada tahun 644 dan 645 M.
I-Tsing mencatat tentang kerajaan ini tatkala singgah guna melanjutkan
perjalanannya dari Kanton menuju India pada tahun 672. Tinggalan masa Melayu
Kuno dapat ditemui berupa sebaran situs percandian di sepanjang Daerah Aliran
Sungai (DAS) Batanghari yang berpusat di Muarojambi. Situs percandian
terbesar yang diidentifikasikan sebagai situs percandian Muarojambi ini
diperkirakan dibangun pada abad ke 7 dan berlanjut hingga abad ke 13.
Kemajuan dan posisi strategis Kerajaan Melayu menarik perhatian Raja Singosari untuk melakukan ekspansi kekuasaan dan membendung kekuasaan Kubhilai Khan dari Cina ke Nusantara. Bentuk ekspansi Raja Singosari, Kertanegara, adalah mengirimkan pasukannya ke Melayu pada tahun 1275. Pengiriman pasukan yang disebut Ekspedisi Pamalayu mengakibatkan terjadinya pergeseran pusat Kerajaan Melayu ke arah pedalaman hulu Batanghari. Kehadiran Singosari di Kerajaan Melayu pada masa Pamalayu berlanjut dalam jalinan hubungan persahabatan antara Singosari dan Melayu yang diwujudkan pengiriman arca Amoghapasa ke Darmasraya pada tahun 1286.
Keberadaan Kerajaan Melayu beransur-ansur susut seiring berkembangnya agama Islam di Jambi yang berdampak berubahnya struktur kerajaan menjadi kesultanan. Pangeran Kedah dengan gelar Sultan Abdul Kahar merupakan sultan pertama di masa Islam yang diangkat tahun 1615 menggantikan Panembahan Kota Baru (1590-1615), Panembahan Bawah Sawo (1565-1590), Panembahan Rengas Pandak (1540-1565), Panembahan Rantau Kapas atau Pangeran Hilang Diaer (1515-1540), dan Orang Kayo Hitam.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar terjadi kontak pertama dengan Sterk, seorang pedagang Belanda yang mengizinkan membangun loji di Muarakumpeh. Tetapi campur tangan Belanda dalam pemerintahan kesultanan diawali pada kontrak pertama tahun 1643 dan kontrak selanjutnya menggerogoti kekuasaan Kesultanan Jambi. Tekanan dan campur tangan Belanda semakin kuat di masa kesultanan dipangku oleh Pangeran Ratu Abdurrahman Zainuddin menggantikan Sultan Muhammad Fachruddin yang wafat tahun 1841 dengan Pangeran Ratunya Pangeran Thaha Syaifuddin bergelar Pangeran Ratu Jaya Diningrat.
Ketika Sultan Abdurrachman Zainuddin wafat Pangeran Ratu Jayaningrat Raden Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai Sultan di tahun 1855. Sultan Thaha dengan tegas bertekad mengembalikan hak-hak rakyat dan kerajaan terlepas dari campur tangan Pemerintah Hindia Belanda. Empat puluh enam tahun perjuangan Sultan Thaha yang berlangsung dengan dukungan rakyatnya, akhirnya pada 26 April 1904 Sultan Thaha gugur dalam serangan tentara Hindia di Betung Berdarah, Tebo. Kendati Sultan Thaha tewas, perlawanan terhadap kedudukan tentara Hindia Belanda terus berlangsung hingga tahun 1920, saat Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan bala bantuan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Batavia.
Kedatangan tentara pendudukan Jepang ke Jambi seiring penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Pendudukan Jepang di Kalijati, Subang, cukup memberikan penderitaan bagi rakyat Jambi. Kehidupan ekonomi rakyat lumpuh karena kewajiban mengumpulkan bahan-bahan pangan seperti padi, jagung, dan lain-lain guna persediaan makanan tentara Jepang menghadapi sekutu. Setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Seokarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kelanjutan dari proklamasi, secara spontan para pemuda di Jambi melakukan pengibaran Bendera Merah Putih di menara air PDAM (Menara Benteng).
Di awal kemerdekaan dibentuk provinsi-provinsi berdasarkan pulau dan kepulauan, seperti Sumatera yang saat itu berupa satu provinsi dengan ibukotanya Medan dengan Mr. Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernurnya. Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera pada sidang di Bukittinggi pada 18 April 1946 memutuskan Sumatera dijadikan 3 sub provinsi, yaitu Ssub Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Karesidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli; Sub Provinsi Sumatera Tengah yang terdiri dari Keresidenan Sumatera Barat, Riau, dan Jambi; dan Sub Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri dari Keresidenan Palembang, termasuk Bangka-Belitung, Bengkulu, Lampung.
Pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi Militer I dengan pengeboman dan penembakan ke berbagai daerah di Jambi, seperti lapangan terbang Pal Merah dan Kapal Berjentera "Tek Kho Seng" di Selat. Agresi Belanda dilanjutkan Agresi Belanda II pada 29 Desember 1948 dengan menyerang kota Jambi dari darat, laut, dan udara. Mengantisipasi serangan-serangan tersebut, muncul perlawanan-perlawanan rakyat di berbagai daerah di Jambi, seperti Perang Simpang III Sipin, Pertempuran Laut di Tungkal, dan lain-lain.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949 memberikan motivasi rakyat Jambi untuk dapat berdiri sendiri secara otonom, lepas dari Propinsi Sumatera Tengah.Akhirnya pada tahun 9 Agustus 1957 Presiden Soekarno menandatanggani Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau. Kini undang-undang tersebut menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1957.
Kemerdekaan yang diperoleh dengan pengorbanan jiwa dan raga rakyat Jambi kini diisi dengan pembangunan di segala bidang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Jambi. (Budi Prihatna)
Selasa, 22 Oktober 2013
Sejarah Museum Perjuangan Rakyat Jambi
Sejarah Museum Perjuangan Rakyat Jambi
Museum Perjuangan
Rakyat Jambi merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Daerah dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi yang bertugas mengumpulkan, menyimpan,
merawat/melestarikan, meneliti dan menerbitkan hasilnya, menyajikan, dan
membimbing edukatif kultural benda sejarah perjuangan rakyat Jambi sebelum
kemerdekaan, kemerdekaan, dan masa mengisi kemerdekaan yang bersifat lokal dan
regional.
Museum Perjuangan
Rakyat Jambi terletak di sudut pertemuan Jalan Sultan Agung dan Jalan Slamet
Riyadi, tepatnya Jl. Sultan Agung no. 12, Jambi. Pendirian museum ini atas
prakarsa Dewan Harian Daerah Angkatan 45 (DHD-45) bersama Pemerintah Daerah
Provinsi Jambi dengan tujuan mengenang sejarah perjuangan rakyat Jambi semasa
pergerakan nasional hingga kemerdekaan Indonesia.
Peletakan batu pertama
pendirian museum ini dilakukan oleh Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia,
Letjen. Achmad Thahir pada 6 Juni 1993 dan diresmikan secara simbolis oleh
Presiden Soeharto pada 10 Juli 1997. Bangunan Museum Perjuangan Rakyat Jambi
seluas 1.365 m2 yang menempati lahan seluas 10.000 m2 mengambil bentuk
perpaduan gaya rumah tradisional Jambi dan arsitektur modern. (Budi Prihatna).
Diposkan oleh Jl. Sultan Agung No. 12 Jambi. Telp. 0741-7552802.
Lokasi: Museum Perjuangan Rakyat Jambi
Minggu, 20 Oktober 2013
PEMBENTUKAN PROVINSI JAMBI 1957
PEMBENTUKAN PROVINSI JAMBI 1957
Oleh: Drs. H. Djunaidi T. Noor, M. M
Oleh: Drs. H. Djunaidi T. Noor, M. M
Dialog hari ini pada hakikatnya adalah
suatu penataan untuk menumbuhkembangkan kesadaran sejarah kita, sejarah
Provinsi Jambi yang pada 6 Januari 2007 berusia 50 tahun, tahun emas bagi
Provinsi Jambi.
Sebagai suatu peristiwa, tanggal 6
Januari tidak mempunyai arti yang begitu mendalam apabila kita memperingatinya
sebagai seremonial dalam perayaan suatu upacara formal ataupun non formal saja.
Atau tanggal tersebut hanya penanda bahwa umur Provinsi Jambi bertambah 1
tahun.
Dapat terjadi ada pendapat bahwa yang
berlalu tetaplah berlalu kenapa harus diingat-ingat apabila dirayakan. Kita
tidak perlu jauh mengambil contoh, hari kelahiran kita (HUT) banyak yang kita
rayakan dengan berbagai kualitas dan intensitasnya sesuai kemampuan
masing-masing.
Demikian juga dengan tanggal 6 Januari
1957, kita tidak dapat meninggalkan atau melupakan apa sesungguhnya yang
terjadi pada 6 Januari 1957 tersebut sehingga menjadi patut dan layak untuk
kita peringati. Secara hukum tanggal 6 Januari 1957 ditetapkan sebagai hari
jadi Provinsi Jambi sebaagai termaktub dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi
No. 1 Tahun 1970.
II. Kenapa Harus Diperingati?
Tanggal 6 Januari 1957 sebagai fakta
sejarah tertuang dalam Keputusan Pleno Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang
memutuskan:
1. Menyatakan Daerah Keresidenan Jambi
menjadi daerah otonomi Tingkat I yang berhubungan langsung dengan Pemerintah
Pusat;
2. Mengusulkan sementara Sdr. Djamin
Datuk Bagindo sebagai Residen Jambi memangku jabatan Gubernur Provinsi Jambi;
3. Kepada Daerah Provinsi Jambi dalam
menjalankan tugas sehari-hari sebelum Dewan Provinsi terbentuk menurut
Undang-Undang, pleno BKRD menunjuk 15 (limabelas) orang selaku Dewan Harian;
4. Dengan segera mengirim delegasi
kepada Pemerintah Pusat untuk menyampaikan dan memberikan penjelasan sekitar
keputusan tersebut di atas guna mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat
mengenai pelaksanaannya.
Peristiwa sejarahnya.
a. BKRD bersidang membahas kondisi Jambi yang saat itu sedemikian menghangatnya untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari bagian Provinsi Sumatra Tengah. Keputusan sidang diambil pukul 02.00WIB;
b. Kendati tidak terpaksa, Pleno BKRD pada 5 Januari 1957 merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda Jambi yang berlangsung dari 3 hingga 5 Januari 1957. Kongres Pemuda Jambi ini dihadiri oleh utusan dari setiap kawedanaan di daerah Jambi, organisasi-organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang, dan utusan kampung-mapung dalam Kota Besar Jambi.Kawedanan Jambi tersebut meliputi: Jambi, Bangko, Sarolangun, Muaro Tebo, Muaro Tembesi, dan Kota Besar Jambi.
Kongres Pemuda Jambi memutuskan:
1. Membentuk Badan Kongres Pemuda Jambi yang akan memperjuangkan Provinsi Otonomi Daerah Jambi bersama-sama Badan Kongres Rakyat Jambi;
2. Menuntuk/mendesak Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) segera a) mengesahkan/menyetujui Pembentukan Dewan Persiapan Provinsi Jambi pada 21 Desember 1956; b) memproklamasikan de facto Provinsi Otonomi Daerah Jambi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957, memutuskan hubungan dengan Provinsi Sumatra Tengah, dan berhubungan langsung ke Pemerintah Pusat;
3. Kongres Pemuda se daerah Jambi bekerja sama dengan BKRD melaksanakan tuntutan tersebut;
4. Jika BKRD tidak bertanggung-jawab atas tuntutan ini, Kongres Pemuda akan menentukan sikap tegas;
5. Kongres Pemuda se Jambi meyakini BKRD menyadari dengan sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi;
6. Resolusi ini disampaikan kepada Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) untuk segera mendapatkan jawaban dalam pleno BKRD pada 5 s/d 6 Januari 1957;
7. Pressure Kongres Pemuda se Jambi mendapat tempat dalam pleno BKRD karena peserta Kongres Pemuda ikut ambil bagian, bahkan ikut serta dalam penandatanganan keputusan BKRD yang bersejarah itu.
Latar belakang peristiwa dapat dicatat dari Konsideran Resolusi Badan Kongres Rakyat Jambi:
1. Tuntutan rakyat Jambi untuk daerah otonom tingkat provinsi dengan menggunakan saluran-saluran demokrasi parlemen berlarut-larut;
2. Janji-janji Pemerintah Pusat kepada utusan-utusan rakyat Jambi yang akan mengabulkan tuntutan rakyat Jambi;
3. Peninjauan-peninjauan dari Pemerintah Pusat di parlemen Republik Indonesia ke daerah Jambi berkali-kali dilakukan.
Perjuangan untuk menjadi provinsi berbenih pada saat pembentukan Provinsi Sumatra Tengah. Saat itu pada sidang Dewan Perwakilan Sumatra (DPS) 17-19 April 1946 di Bukittinggi terpaksa dilakukan voting memasukkan Keresidenan Jambi ke Sub Provinsi Sumatra Tengah bersama Sumatra Barat dan Riau yang dikukuhkan dengan SK Gubernur Sumatra No. 143 tanggal 2 Juli 1946. Aspirasi ini berlanjut bukan saja sebagai sub provinsi administratif, tetapi juga diberikan kewenangan otonomi. Melalui PP No. 8 Tahun 1947 kemudian UU No. 10 tanggal 15 April 1948, Sub Provinsi Sumatra (Utara, Tengah, dan Selatan) dikukuhkan sebagai Provinsi Sumatra. Jambi bersama Sumatra Barat dan Riau menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Tengah.
Pembentukan kabupaten dilakukan melalui Panitia Desentralisasi Sumatra Tengah yang terbentuk pada 2 Oktober 1948 oleh Badan Eksekutif DPR Sumatra Tengah (DPST). Hasilnya adalah 11 kabupaten yang di antaranya Kabupaten Merangin dengan ibu kotanya Muaro Bungo meliputi Kewedanaan Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko, dan Sarolangun; Kabupaten Batanghari dengan ibukotanya Jambi meliputi Kewedanaan Jambi, Muaro Tembesi, Kuala Tungkal, dan Muaro Sabak. Kabupaten Merangin merupakan alihan dari penyebutan Jambi Ilir. Ibukota Keresidenan Jambi adalah Jambi yang wilayahnya berstatus Kewedanaan Jambi Kota.
Banyak tokoh masyarakat menyatakan keinginan untuk lepas dari lingkungan Provinsi Sumatra Tengah dan bergabung dengan Sumatra Selatan, seperti di awal pembentukan Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Keresidenan Palembang di tahun 1901 dan menjadi keresidenan penuh tahun 1908.
Keinginan-keinginan tersebut tidak segera terwujud, karena saat itu lebih banyak menghadapi persoalan dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia, termasuk penguasaan atas Jambi. Ketegangan politik dan militer dari Agresi Belanda di seluruh Indonesia mendorong pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengadakan rapat dengan Ketua Komisariat Pemerintah Pusat, Mr. T. M. Hasan (Mantan Gubernur Sumatra), Panglima Teritorial Sumatra Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatra Tengah Mr. Nasroen, dan beberapa pegawai tinggi lainnya. Rapat tersebut memutuskan membekukan sementara Provinsi Sumatra Tengah. DPR Keresidenan dihidupkan kembali dan diberi kekuasaan penuh untuk melancarkan pemerintah dan perjuangan di keresidenan masing-masing. Pejabat pemerintah saat itu dimiliterisasi dan Jambi dimasukkan ke dalam Pemerintah Militer Sumatra Selatan.
Kondisi seperti inilah terus berlanjut dan di sela-sela itu perjuangan Keresidenan Jambi keluar dari Sumatra Tengah berlanjut hingga tahun 1953. Awal tahun 1954 wacana melepaskan diri dari Sumatra Tengah dan tidak pula bergabung dengan Sumatra Selatan semakin mengkristal untuk mendirikan provinsi sendiri melalui Front Pemuda Jambi, Kongres Pemuda se-daerah Jambi. Hasil konfrensi Pasirah-Pasirah (kepala marga) pada 18 Januari 1955, rapat raksasa Rakyat Jambi di Muaro Tebo pada 18 April 1955, dan dengan tegas dilanjutkan oleh Kongres Rakyat Jambi dalam beberapa kali pertemuan di tahun 1955, berketetapan menuntut Keresidenan Jambi dijadikan suatu daerah otonom setingkat provinsi.
Kongres Rakyat Jambi yang berlangsung pada 15 hingga 18 Juni 1955 di Kota Jambi menghasilkan pembentukan Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotakan 36 orang. Ketigapuluh enam orang tersebut, 9 orang merupakan hasil pilihan kongres, 16 orang dari unsur kewedanaan dan Kota Jambi, 10 orang mewakili partai politik, dan 1 orang bekas pejuang. Seusai kongres terjadi penambahan 2 orang anggota baru (BKRD).
Kristalisasi tekad pembentukan Provinsi Jambi tidak berjalan mulus. Berbagai pandangan muncul, di antaranya isu keinginan berprovinsi muncul dari parpol tertentu, padahal sejarah mencatat seluruh komponen masyarakat menyatakan upaya tersebut harus diwujudkan. Kendati demikian, memang terjadi pengelompokan. Kelompok pertama ingin menggabungkan Jambi ke Provinsi Sumatra Selatan; kelompok kedua, Jambi tetap berada dalam wilayah Sumatra Tengah; dan kelompok ketiga, sebagai kelompok kecil bertekad Jambi berprovinsi sendiri. Lobi-lobi dan pembahasan berlanjut yang akhirnya tercapai suatu kesatuan tekad Jambi menjadi provinsi sendiri. Berkali-kali para delegasi ke Pemerintah Pusat dan pihak-pihak penguasa lainnya, baik di Sumatra Selatan maupun Sumatra Tengah sendiri. Pemerintah Militer Sumatra Selatan maupun Pemerintah Militer Sumatra Tengah sangat mendukung sehingga terkesan duplikasi kewenangan pemerintah. Hal ini terlihat ketika peresmian Provinsi Jambi pada 8 Februari 1957 dilakukan oleh Penguasa Militer Sumatra Tengah (Dewan Banteng) Letnan Kolonel Ahmad Husein dan disaksikan oleh Panglima Teritorial II Sriwijaya Letnan Kolonel Berlian.
Tuntutan dan pernyaan-pernyataan sikap rakyat Jambi semakin meluas dengan adanya Radio Jambi beroperasi pada 4 Januari 1957. Radio Jambi ini mengudara menggunakan alat kelengkapan Zender Radio Pos, Telepon, dan Telegraf atas dasar persetujuan Kepala Kantor Telekomunikasi Palembang. Radio Jambi ini dikelola oleh Dewan Radio yang dikoordinasikan oleh BKRD dengan pimpinan (Kepala Studio) H. F. Suraty, Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Batanghari.
Perjuangan melalui utusan delegasi yang dikirim BKRD mendapat tanggapan. RRI Jakarta memberitakan bahwa sidang kabinet 8 Januari 1957 menyetujui daerah Riau dan Jambi yang menyatakan menjadi provinsi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk undang-undang. Di bawah koordinasi BKRD dikirim berkali-kali delegasi ke Pusat, Palembang, dan Bukittinggi. Secara internal pun dalam masa seperti itu BKRD mendapat tanggapan-tanggapan pro dan kontra karena lambat dan alotnya mendapat dukungan dari Pusat maupun penguasa militer dari Palembang maupun Bukittinggi.
Menyikapi kelambanan yang terjadi, pada 10 Juli 1957 Badan Harian BKRD mengadakan sidang yang satu di antara putusannya adalah pembentukan Provinsi Jambi agar dikokohkan dengan Undang-Undang Darurat. Keputusan ini mendapat dukungan politis dari DPRD Peralihan Kabupaten Merangin pada 12 Juli 1957, Batanghari 15 Juli 1957, dan DPRDP Kota Praja Jambi pada 15 Juli 1957, Parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Persatuan Keluarga Kerinci selain mendukung Pemerintah Provinsi Jambi, juga mengharapkan Kerinci masuk ke Jambi, seperti pernyataan 16 dan 17 Juli 1957 sebagai wujud hasil Kongres Rakyat Jambi 1957. Dukungan dari berbagai lapisan masyarakat juga cukup kuat, misalnya dari Marga Jambi Kecil. Akhirnya yang ditunggu tiba, pada 7 Agustus 1957 (Rabu malam Kemis) kabinet menerima RUU Pembentukan Provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 9 Agustus 1957 di Denpasar Bali dalam bentuk Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 dan kemudian UU Darurat menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1958.
Suasana gembira menyambut de facto dan de jure pendirian Provinsi Jambi, dilanjutkan lagi dengan penempatan figur ketua BKRD H. Hanafi sebagai Gubernur Provinsi Jambi sebagaimana diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang BKRD dan dikokohkan oleh Sidang Pleno Gabungan DPRDP Kabupaten Merangin, Batanghari, dan Kota Praja Jambi.
Sesuai Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 wilayah Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Merangin, Batanghari, Kota Praja Jambi, dan wilayah-wilayah Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir (semula merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Kemudian dalam UU No. 21 Tahun 1958 tanggal 10 November 1958, Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Kerinci yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Jambi M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri.
Provinsi Jambi sendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 Tahun 1957 dan UU No. 61 Tahun 1958 diresmikan pada 30 Desember 1957 di Gedung Nasional (Gedung BKOW) oleh Pejabat Gubernur Provinsi Jambi Jamin Datuk Bagindo atas nama Mentri Dalam Negeri. Kemudian pada 31 Desember 1957 di kediaman Residen Jambi anggota DPRDP dilantik oleh Pejabat Jambi, dan pada Rapat Pleno 2 Juni 1958 terpilih ketua DPRDP Provinsi Jambi H. Hanafi.
H. Hanafi dari Ketua BKRD dan dipilih sebagai ketua DPRDP kemudian menjadi calon tunggal Gubernur Jambi. Hasil sidang DPRD Provinsi Jambi pada 3 Maret 1958 mengajukan nama H. Hanafi sebagai calon Gubernur Jambi ke Mentri Dalam Negeri. Dalam Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri Sanusi Harjadinata No. Des. 71/15/29 tanggal 24 April 1958 menetapkan H. Hanafi sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. Oleh karena H. Hanafi terjaring Operasi Sadar oleh Task Force dan beliau ditahan di Palembang, pelantikan dibatalkan dan jabatan sebagai Ketua DPRDP digantikan oleh Murat Alwi. Pada tahun 1958 dilakukan kembali pemilihan gubernur dalam Rapat Pleno DPRDP yang hasilnya memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi.
Peristiwa sejarahnya.
a. BKRD bersidang membahas kondisi Jambi yang saat itu sedemikian menghangatnya untuk menjadi provinsi sendiri, lepas dari bagian Provinsi Sumatra Tengah. Keputusan sidang diambil pukul 02.00WIB;
b. Kendati tidak terpaksa, Pleno BKRD pada 5 Januari 1957 merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda Jambi yang berlangsung dari 3 hingga 5 Januari 1957. Kongres Pemuda Jambi ini dihadiri oleh utusan dari setiap kawedanaan di daerah Jambi, organisasi-organisasi pemuda, organisasi bekas pejuang, dan utusan kampung-mapung dalam Kota Besar Jambi.Kawedanan Jambi tersebut meliputi: Jambi, Bangko, Sarolangun, Muaro Tebo, Muaro Tembesi, dan Kota Besar Jambi.
Kongres Pemuda Jambi memutuskan:
1. Membentuk Badan Kongres Pemuda Jambi yang akan memperjuangkan Provinsi Otonomi Daerah Jambi bersama-sama Badan Kongres Rakyat Jambi;
2. Menuntuk/mendesak Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) segera a) mengesahkan/menyetujui Pembentukan Dewan Persiapan Provinsi Jambi pada 21 Desember 1956; b) memproklamasikan de facto Provinsi Otonomi Daerah Jambi selambat-lambatnya tanggal 9 Januari 1957, memutuskan hubungan dengan Provinsi Sumatra Tengah, dan berhubungan langsung ke Pemerintah Pusat;
3. Kongres Pemuda se daerah Jambi bekerja sama dengan BKRD melaksanakan tuntutan tersebut;
4. Jika BKRD tidak bertanggung-jawab atas tuntutan ini, Kongres Pemuda akan menentukan sikap tegas;
5. Kongres Pemuda se Jambi meyakini BKRD menyadari dengan sungguh-sungguh tidak akan mengkhianati perjuangan rakyat Jambi;
6. Resolusi ini disampaikan kepada Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) untuk segera mendapatkan jawaban dalam pleno BKRD pada 5 s/d 6 Januari 1957;
7. Pressure Kongres Pemuda se Jambi mendapat tempat dalam pleno BKRD karena peserta Kongres Pemuda ikut ambil bagian, bahkan ikut serta dalam penandatanganan keputusan BKRD yang bersejarah itu.
Latar belakang peristiwa dapat dicatat dari Konsideran Resolusi Badan Kongres Rakyat Jambi:
1. Tuntutan rakyat Jambi untuk daerah otonom tingkat provinsi dengan menggunakan saluran-saluran demokrasi parlemen berlarut-larut;
2. Janji-janji Pemerintah Pusat kepada utusan-utusan rakyat Jambi yang akan mengabulkan tuntutan rakyat Jambi;
3. Peninjauan-peninjauan dari Pemerintah Pusat di parlemen Republik Indonesia ke daerah Jambi berkali-kali dilakukan.
Perjuangan untuk menjadi provinsi berbenih pada saat pembentukan Provinsi Sumatra Tengah. Saat itu pada sidang Dewan Perwakilan Sumatra (DPS) 17-19 April 1946 di Bukittinggi terpaksa dilakukan voting memasukkan Keresidenan Jambi ke Sub Provinsi Sumatra Tengah bersama Sumatra Barat dan Riau yang dikukuhkan dengan SK Gubernur Sumatra No. 143 tanggal 2 Juli 1946. Aspirasi ini berlanjut bukan saja sebagai sub provinsi administratif, tetapi juga diberikan kewenangan otonomi. Melalui PP No. 8 Tahun 1947 kemudian UU No. 10 tanggal 15 April 1948, Sub Provinsi Sumatra (Utara, Tengah, dan Selatan) dikukuhkan sebagai Provinsi Sumatra. Jambi bersama Sumatra Barat dan Riau menjadi bagian dari wilayah Provinsi Sumatra Tengah.
Pembentukan kabupaten dilakukan melalui Panitia Desentralisasi Sumatra Tengah yang terbentuk pada 2 Oktober 1948 oleh Badan Eksekutif DPR Sumatra Tengah (DPST). Hasilnya adalah 11 kabupaten yang di antaranya Kabupaten Merangin dengan ibu kotanya Muaro Bungo meliputi Kewedanaan Muaro Tebo, Muaro Bungo, Bangko, dan Sarolangun; Kabupaten Batanghari dengan ibukotanya Jambi meliputi Kewedanaan Jambi, Muaro Tembesi, Kuala Tungkal, dan Muaro Sabak. Kabupaten Merangin merupakan alihan dari penyebutan Jambi Ilir. Ibukota Keresidenan Jambi adalah Jambi yang wilayahnya berstatus Kewedanaan Jambi Kota.
Banyak tokoh masyarakat menyatakan keinginan untuk lepas dari lingkungan Provinsi Sumatra Tengah dan bergabung dengan Sumatra Selatan, seperti di awal pembentukan Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Keresidenan Palembang di tahun 1901 dan menjadi keresidenan penuh tahun 1908.
Keinginan-keinginan tersebut tidak segera terwujud, karena saat itu lebih banyak menghadapi persoalan dengan Belanda yang ingin kembali bercokol di Indonesia, termasuk penguasaan atas Jambi. Ketegangan politik dan militer dari Agresi Belanda di seluruh Indonesia mendorong pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengadakan rapat dengan Ketua Komisariat Pemerintah Pusat, Mr. T. M. Hasan (Mantan Gubernur Sumatra), Panglima Teritorial Sumatra Kolonel Hidayat, Gubernur Sumatra Tengah Mr. Nasroen, dan beberapa pegawai tinggi lainnya. Rapat tersebut memutuskan membekukan sementara Provinsi Sumatra Tengah. DPR Keresidenan dihidupkan kembali dan diberi kekuasaan penuh untuk melancarkan pemerintah dan perjuangan di keresidenan masing-masing. Pejabat pemerintah saat itu dimiliterisasi dan Jambi dimasukkan ke dalam Pemerintah Militer Sumatra Selatan.
Kondisi seperti inilah terus berlanjut dan di sela-sela itu perjuangan Keresidenan Jambi keluar dari Sumatra Tengah berlanjut hingga tahun 1953. Awal tahun 1954 wacana melepaskan diri dari Sumatra Tengah dan tidak pula bergabung dengan Sumatra Selatan semakin mengkristal untuk mendirikan provinsi sendiri melalui Front Pemuda Jambi, Kongres Pemuda se-daerah Jambi. Hasil konfrensi Pasirah-Pasirah (kepala marga) pada 18 Januari 1955, rapat raksasa Rakyat Jambi di Muaro Tebo pada 18 April 1955, dan dengan tegas dilanjutkan oleh Kongres Rakyat Jambi dalam beberapa kali pertemuan di tahun 1955, berketetapan menuntut Keresidenan Jambi dijadikan suatu daerah otonom setingkat provinsi.
Kongres Rakyat Jambi yang berlangsung pada 15 hingga 18 Juni 1955 di Kota Jambi menghasilkan pembentukan Badan Kongres Rakyat Jambi (BKRD) yang beranggotakan 36 orang. Ketigapuluh enam orang tersebut, 9 orang merupakan hasil pilihan kongres, 16 orang dari unsur kewedanaan dan Kota Jambi, 10 orang mewakili partai politik, dan 1 orang bekas pejuang. Seusai kongres terjadi penambahan 2 orang anggota baru (BKRD).
Kristalisasi tekad pembentukan Provinsi Jambi tidak berjalan mulus. Berbagai pandangan muncul, di antaranya isu keinginan berprovinsi muncul dari parpol tertentu, padahal sejarah mencatat seluruh komponen masyarakat menyatakan upaya tersebut harus diwujudkan. Kendati demikian, memang terjadi pengelompokan. Kelompok pertama ingin menggabungkan Jambi ke Provinsi Sumatra Selatan; kelompok kedua, Jambi tetap berada dalam wilayah Sumatra Tengah; dan kelompok ketiga, sebagai kelompok kecil bertekad Jambi berprovinsi sendiri. Lobi-lobi dan pembahasan berlanjut yang akhirnya tercapai suatu kesatuan tekad Jambi menjadi provinsi sendiri. Berkali-kali para delegasi ke Pemerintah Pusat dan pihak-pihak penguasa lainnya, baik di Sumatra Selatan maupun Sumatra Tengah sendiri. Pemerintah Militer Sumatra Selatan maupun Pemerintah Militer Sumatra Tengah sangat mendukung sehingga terkesan duplikasi kewenangan pemerintah. Hal ini terlihat ketika peresmian Provinsi Jambi pada 8 Februari 1957 dilakukan oleh Penguasa Militer Sumatra Tengah (Dewan Banteng) Letnan Kolonel Ahmad Husein dan disaksikan oleh Panglima Teritorial II Sriwijaya Letnan Kolonel Berlian.
Tuntutan dan pernyaan-pernyataan sikap rakyat Jambi semakin meluas dengan adanya Radio Jambi beroperasi pada 4 Januari 1957. Radio Jambi ini mengudara menggunakan alat kelengkapan Zender Radio Pos, Telepon, dan Telegraf atas dasar persetujuan Kepala Kantor Telekomunikasi Palembang. Radio Jambi ini dikelola oleh Dewan Radio yang dikoordinasikan oleh BKRD dengan pimpinan (Kepala Studio) H. F. Suraty, Kepala Jawatan Penerangan Kabupaten Batanghari.
Perjuangan melalui utusan delegasi yang dikirim BKRD mendapat tanggapan. RRI Jakarta memberitakan bahwa sidang kabinet 8 Januari 1957 menyetujui daerah Riau dan Jambi yang menyatakan menjadi provinsi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk undang-undang. Di bawah koordinasi BKRD dikirim berkali-kali delegasi ke Pusat, Palembang, dan Bukittinggi. Secara internal pun dalam masa seperti itu BKRD mendapat tanggapan-tanggapan pro dan kontra karena lambat dan alotnya mendapat dukungan dari Pusat maupun penguasa militer dari Palembang maupun Bukittinggi.
Menyikapi kelambanan yang terjadi, pada 10 Juli 1957 Badan Harian BKRD mengadakan sidang yang satu di antara putusannya adalah pembentukan Provinsi Jambi agar dikokohkan dengan Undang-Undang Darurat. Keputusan ini mendapat dukungan politis dari DPRD Peralihan Kabupaten Merangin pada 12 Juli 1957, Batanghari 15 Juli 1957, dan DPRDP Kota Praja Jambi pada 15 Juli 1957, Parpol, dan organisasi kemasyarakatan. Persatuan Keluarga Kerinci selain mendukung Pemerintah Provinsi Jambi, juga mengharapkan Kerinci masuk ke Jambi, seperti pernyataan 16 dan 17 Juli 1957 sebagai wujud hasil Kongres Rakyat Jambi 1957. Dukungan dari berbagai lapisan masyarakat juga cukup kuat, misalnya dari Marga Jambi Kecil. Akhirnya yang ditunggu tiba, pada 7 Agustus 1957 (Rabu malam Kemis) kabinet menerima RUU Pembentukan Provinsi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau. Undang-Undang tersebut ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno pada 9 Agustus 1957 di Denpasar Bali dalam bentuk Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 dan kemudian UU Darurat menjadi Undang-Undang No. 61 Tahun 1958.
Suasana gembira menyambut de facto dan de jure pendirian Provinsi Jambi, dilanjutkan lagi dengan penempatan figur ketua BKRD H. Hanafi sebagai Gubernur Provinsi Jambi sebagaimana diusulkan dan ditetapkan oleh Sidang BKRD dan dikokohkan oleh Sidang Pleno Gabungan DPRDP Kabupaten Merangin, Batanghari, dan Kota Praja Jambi.
Sesuai Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 wilayah Provinsi Jambi meliputi Kabupaten Merangin, Batanghari, Kota Praja Jambi, dan wilayah-wilayah Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah, dan Kerinci Hilir (semula merupakan bagian dari Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Kemudian dalam UU No. 21 Tahun 1958 tanggal 10 November 1958, Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir menjadi satu kabupaten, yaitu Kabupaten Kerinci yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Jambi M. Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri.
Provinsi Jambi sendiri yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 Tahun 1957 dan UU No. 61 Tahun 1958 diresmikan pada 30 Desember 1957 di Gedung Nasional (Gedung BKOW) oleh Pejabat Gubernur Provinsi Jambi Jamin Datuk Bagindo atas nama Mentri Dalam Negeri. Kemudian pada 31 Desember 1957 di kediaman Residen Jambi anggota DPRDP dilantik oleh Pejabat Jambi, dan pada Rapat Pleno 2 Juni 1958 terpilih ketua DPRDP Provinsi Jambi H. Hanafi.
H. Hanafi dari Ketua BKRD dan dipilih sebagai ketua DPRDP kemudian menjadi calon tunggal Gubernur Jambi. Hasil sidang DPRD Provinsi Jambi pada 3 Maret 1958 mengajukan nama H. Hanafi sebagai calon Gubernur Jambi ke Mentri Dalam Negeri. Dalam Surat Keputusan Mentri Dalam Negeri Sanusi Harjadinata No. Des. 71/15/29 tanggal 24 April 1958 menetapkan H. Hanafi sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi. Oleh karena H. Hanafi terjaring Operasi Sadar oleh Task Force dan beliau ditahan di Palembang, pelantikan dibatalkan dan jabatan sebagai Ketua DPRDP digantikan oleh Murat Alwi. Pada tahun 1958 dilakukan kembali pemilihan gubernur dalam Rapat Pleno DPRDP yang hasilnya memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi.
Kamis, 17 Oktober 2013
LASENAS 2012
di saat saya dan rombongan di rumah dinas gubernur jambi
di saat saya dan rombongan LASENAS di jambi kota seberang, tepatnya di desa putri pinang masak
ini bersama rombongan berfoto bersama bupati kabupaten kuala tungkal (tanjung jabung barat)
Lasenas pertama kali diadakan pada tahun 2003 di sepanjang Pulau Jawa dengan mengunjungi tempat pengasingan tokoh-tokoh pejuang bangsa, seperti Sukarno di Bandung, Hatta dan Sjahrir di Sukabumi dan Cut Nyak Dien di Sumedang. Tahun 2012 merupakan kegiatan Lasenas X diselenggarakan di Provinsi Jambi pada tanggal 8-12 Oktober 2012 dengan mengangkat tema "Memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Kearifan Sejarah." Dalam sambutannya, gubernur menyatakan bahwa tahun ini Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengalokasikan dana besar untuk pengembangan Candi Muaro Jambi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menulis buku tentang Candi Muaro Jambi.
Gubernur
berharap, melalui Lasenas Tahun 2012 dan dengan kunjungan kerja Wakil Menteri
(Wamen) ke Jambi serta dengan alokasi dana yang lebih besar untuk pengembangan
Candi Muaro Jambi, pengembangan Candi Muaro Jambi bisa dilakukan dengan lebih baik
lagi guna mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya
dunia. Berkaitan dengan hal tersebut, gubernur
mengungkapkan dirinya sangat senang atas kedatangan Wamen ke Provinsi Jambi dan
atas dipilihnya Provinsi Jambi sebagai tempat Lasenas Tahun 2012. Gubernur
menyatakan dipilihnya Provinsi Jambi sebagai tempat Lasenas Tahun 2012 akan
membantu memperkenalkan dan mempromosikan Provinsi Jambi, yang selanjutnya akan
membawa manfaat bagi Provinsi Jambi, baik manfaat dari sisi ekonomi maupun
manfaat dari sisi pendidikan sejarah dan budaya.
Gubernur
juga berharap, dengan Lasenas Tahun 2012 ini, dapat memberikan pemahaman dan
pengertian kepada masyarakat Jambi agar tidak melupakan
sejarah. Kepada para wartawan yang mewawancarainya, gubernur kembali
mengucapkan apresiasi dan terimakasih atas kunjungan kerja Wamen ke Jambi, yang
berkaitan dengan Lasenas Tahun 2012, dan secara khusus dalam pengembangan Candi
Muaro Jambi.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang
Kebudayaan, Prof.Wiendu Nuryanti,Ph.D dalam arahannya mengemukakan bahwa
pembuatan buku yang memuat tentang Candi Muaro Jambi, dengan judul,The Lost
Kingdom in Sumatera yang digarap oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan masih dalam proses.Wiendu Nuryanti mengungkapkan, Candi Muaro Jambi
justru dikagumi oleh orang-orang di luar indonesia. Namun demikian, pihaknya
memberikan perhatian lebih besar lagi terhadap pengembangan Candi Muaro Jambi,
baik pengembangan secara fisik maupun secara kajian sejarahnya (yang dituangkan
dalam buku tersebut).
"Candi Muaro Jambi harus bisa menjadi warisan
budaya dunia," sebut Wiendu Nuryanti sembari menyatakan bahwa pemerintah,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Provinsi Jambi dan Kabupaten
Muaro Jambi) serta seluruh pihak terkait harus melakukan upaya sinergis dan
berkesinambungan untuk mewujudkan Candi Muaro Jambi sebagai warisan budaya
dunia.Wamen mengungkapkan, Subak dengan pangairan dan teras-teras padi yang
meliputi lima kabupaten di Bali telah menjadi warisan budaya dunia. Subak menjadi
warisan budaya dunia setelah 12 tahun. Mudah-mudahan Candi Muaro Jambi bisa
menjadi warisan budaya dunia tanpa harus menungggu sampai 12 tahun, harap
Wamen.
Wamen juga mengemukakan bahwa keuntungan ekonomi
yang didapat dengan ditetapkannya suatu benda atau cagar budaya menjadi warisan
budaya dunia sangat besar. Contohnya, revenue yang diperoleh dari
batik setelah ditetapkan menjadi warisan budaya dunia mencapai Rp 1,5 triliun
atau meningkat sampai 300%.Jadi, banyak manfaat yang didapat dari warisan budaya
dunia, yaitu manfaat dari segi ekonomi, kebanggaan, citra positif dan serapan
tenaga kerja. Makanya, negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk memperoleh
warisan budaya dunia, tutur Wiendu Nuryanti.
Selanjutnya, Wiendu Nuryanti menegaskan, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan akan terus mendampingi pemerintah daerah Jambi untuk
mewujudkan Candi Muaro Jambi menjadi warisan budaya dunia. Dikatakan
oleh Wiendu Nuryanti, manfaat yang bisa diperoleh dari warisan budaya dunia
adalah bahwa kepemilikan menjadi kepemilikan dunia, dengan demikian melekatlah
sistem monitoring, evaluasi, pengembangan, dan evaluasi cagar budaya pada
dunia, dalam hal ini UNESCO.
sangat menyenangkan Berkaitan dengan Lasenas, Wiendu
Nuryanti mengemukakan bahwa Kemendikbud sedang membangun reformasi
kurikulum di seluruh nusantara, dengan intinya adalah pendidikan
karakter, dimana pendidikan karakter digali dari kearifan-kearifan lokal dan
dari sejarah-sejarah di Indonesia.Dalam upaya menggali kearifan lokal dan sejarah
di Indonesia, Wiendu Nuryanti berharap agar lawatan sejarah, termasuk lawatan
sejarah ke Jambi bisa memberikan inspirasi dalam pendidikan karakter bangsa.
"Saya percaya, dalam pendidikan, inspirasi sangat mendasar. Dan,
pengalaman inspiratif seringkali menjadi tonggak-tonggak untuk
pembangunan," ujar Wiendu Nuryanti.
Wiendu Nuryanti mengatakan, inspirasi lahir dari
pendidikan yang. Maka dari itu, lawatan sejarah ini dirancang sebagai salah
satu bentuk pendidikan yang menyenangkan, sebut Wiendu NuryantiDalam sesi
konferensi pers, kepada para wartawan yang mewawancarainya, Wiendu Nuryanti
mengungkapkan bahwa pada tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
mengalokasikan dana senilai Rp12,5 miliar untuk pengembangan Candi Muaro Jambi.
Jumlah ini sangat besar, tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar Rp1 sampai 1,2
miliar.
Ketika ditanya target penyelesaian buku The
Lost Kingdom in Sumatera, Wiendu Nuryanti menjawab, buku itu ditargetkan
selesai pertengahan sampai akhir tahun 2013, melibatkan dua orang
penulis dari Perancis, dan juga melibatkan penulis dari Jambi. Direktur
Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Endjat Djaenu
Deradjat, dalam laporannya menyampaikan, pemilihan Provinsi Jambi sebagai
tempat Lasenas Tahun 2012 bukan begitu saja, tetapi melalui pertimbangan karena
Provinsi Jambi memiliki banyak tapak-tapak sejarah mulai zaman kerajaan Budha
dan zaman perjuangan kemerdekaan.
Endjat
Djaenu Deradjat menjelaskan, ada 3 fungsi sejarah, yaitu 1.pengingat,
2.pengikat, dan 3.penyemangat. Endjat Djaenu Deradjat menegaskan bahwa sejarah
harus dihargai.Endjat Djaenu Deradjat juga menyampaikan, Lasenas Tahun 2012 ini
diikuti oleh 60 orang siswa/siswi dari 33 provinsi se Indonesia, 30 orang
pendamping, 44 orang siswa/siswi dari Provinsi Jambi.
Turut hadir dalam acara tersebut, Wakil Gubernur
Jambi, H.Fachrori Umar; Istri Gubernur Jambi, Hj.Yusniana Hasan Basri Agus;
Istri Wakil Gubernur Jambi, Hj.Rahima Fachrori Umar; Wakil Bupati Batanghari,
Sinwan; Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Drs.H.Idham Kholid, ME; Kepala
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, Sultoni Mambo, serta para
undangan lainnya.
PASKIBRAKA
dalam hal ini saya akan menjelaskan apa yang di maksud dengan PASKIBRAKA yang saya ketahui :
saya adalah anggota 17 untuk penaikan dan penurunan, poto di atas , saya adalah jika dari kanan , saya no 5 ke kiri, jika kiri ke kanan, saya no 4.
saya adalah anggota 17 untuk penaikan dan penurunan, poto di atas , saya adalah jika dari kanan , saya no 5 ke kiri, jika kiri ke kanan, saya no 4.
ARTI DARI LAMBANG PASKIBRA "BUNGA TERATAI"
BUNGA TERATAI
Teratai adalah tanaman yang dapat tumbuh di dua tempat, yaitu darat dan air. Maksudnya bahwa anggota Paskibraka itu harus siap dalam melaksanakan tugas dimansaja.
MATA RANTAI
Terdiri dari lingkaran dan belah ketupat yang berarti persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan. Belah ketupat bermakna anggota Paskibraka putra yang berjumlah 16 dan lingkaran bermakna anggota Paskibraka putri yang berjumlah 16 juga, serta membentuk lingkaran yang menandakan arah mata angin. Maksudnya adalah bahwa anggota Paskibraka yang terdiri dari putra dan putri yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan saling bersatu.
BAGIAN BUNGA TERATAI
3 (tiga) buah kelopak bunga yang menjulang keatas dari kiri ke kanan, bermakna anggota Paskibraka itu disiplin, aktif dan gembira.
3 (tiga) buah kelopak bunga yang mendatar dari kiri kekanan, bermakna anggota Paskibraka itu belajar berbakti dan bekerja.
Tangkai bunga bermakna bahwa anggota Paskibraka itu muncul dari ketidaktahuan menjadi tahu.
Warna hijau melambangkan perintis pemuda.
BUNGA TERATAI
Teratai adalah tanaman yang dapat tumbuh di dua tempat, yaitu darat dan air. Maksudnya bahwa anggota Paskibraka itu harus siap dalam melaksanakan tugas dimansaja.
MATA RANTAI
Terdiri dari lingkaran dan belah ketupat yang berarti persatuan, kebersamaan dan kekeluargaan. Belah ketupat bermakna anggota Paskibraka putra yang berjumlah 16 dan lingkaran bermakna anggota Paskibraka putri yang berjumlah 16 juga, serta membentuk lingkaran yang menandakan arah mata angin. Maksudnya adalah bahwa anggota Paskibraka yang terdiri dari putra dan putri yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan saling bersatu.
BAGIAN BUNGA TERATAI
3 (tiga) buah kelopak bunga yang menjulang keatas dari kiri ke kanan, bermakna anggota Paskibraka itu disiplin, aktif dan gembira.
3 (tiga) buah kelopak bunga yang mendatar dari kiri kekanan, bermakna anggota Paskibraka itu belajar berbakti dan bekerja.
Tangkai bunga bermakna bahwa anggota Paskibraka itu muncul dari ketidaktahuan menjadi tahu.
Warna hijau melambangkan perintis pemuda.
PASKIBRAKA adalah singkatan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka dengan tugas utamanya mengibarkan duplikat bendera pusaka dalam upacara peringatanproklamasi kemerdekaan Indonesia di 3 tempat, yakni tingkat Kabupaten/Kota (Kantor Bupati/Walikota), Provinsi (Kantor Gubernur), dan Nasional (Istana Negara). Anggotanya berasal dari pelajar SLTA Sederajat kelas 1 ATAU 2. Penyeleksian anggotanya biasanya dilakukan sekitar bulan April untuk persiapan pengibaran pada17 Agustus.
Sejarah Gagasan Paskibraka lahir pada tahun 1946, pada saat ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-1, Presiden Soekarno memerintahkan salah satu ajudannya, Mayor (Laut) Husein Mutahar, untuk menyiapkan pengibaran bendera pusaka di halaman Istana Gedung Agung Yogyakarta. Pada saat itulah, di benak Mutahar terlintas suatu gagasan bahwa sebaiknya pengibaran bendera pusaka dilakukan oleh para pemuda dari seluruh penjuru Tanah Air, karena mereka adalah generasi penerus perjuangan bangsa yang bertugas.
Tetapi, karena gagasan itu tidak mungkin terlaksana, maka Mutahar hanya bisa menghadirkan lima orang pemuda (3 putra dan 2 putri) yang berasal dari berbagai daerah dan kebertulan sedang berada di Yogyakarta. Lima orang tersebut melambangkan Pancasila. Sejak itu, sampai tahun 1949, pengibaran bendera di Yogyakarta tetap dilaksanakan dengan cara yang sama.
Ketika Ibukota dikembalikan ke Jakarta pada tahun 1950, Mutahar tidak lagi menangani pengibaran bendera pusaka. Pengibaran bendera pusaka pada setiap 17 Agustus di Istana Merdeka dilaksanakan oleh Rumah Tangga Kepresidenan sampai tahun 1966. Selama periode itu, para pengibar bendera diambil dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di Jakarta.
Tahun 1967, Husein Mutahar dipanggil presiden saat itu, Soekarno, untuk menangani lagi masalah pengibaran bendera pusaka. Dengan ide dasar dari pelaksanaan tahun 1946 di Yogyakarta, beliau kemudian mengembangkan lagi formasi pengibaran menjadi 3 kelompok yang dinamai sesuai jumlah anggotanya, yaitu:
· Kelompok 17 / pengiring (pemandu),
· Kelompok 8 / pembawa (inti),
· Kelompok 45 / pengawal.
Jumlah tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945 (17-8-45). Pada waktu itu dengan situasi kondisi yang ada, Mutahar hanya melibatkan putra daerah yang ada diJakarta dan menjadi anggota Pandu/Pramuka untuk melaksanakan tugas pengibaran bendera pusaka. Rencana semula, untuk kelompok 45 (pengawal) akan terdiri dari para mahasiswa AKABRI (Generasi Muda ABRI) namun tidak dapat dilaksanakan. Usul lain menggunakan anggota pasukan khusus ABRI (seperti RPKAD, PGT, marinir, dan Brimob) juga tidak mudah. Akhirnya diambil dari Pasukan Pengawal Presiden (PASWALPRES) yang mudah dihubungi karena mereka bertugas di Istana Negara Jakarta.
Mulai tanggal 17 Agustus 1968, petugas pengibar bendera pusaka adalah para pemuda utusan provinsi. Tetapi karena belum seluruh provinsi mengirimkan utusan sehingga masih harus ditambah oleh ex-anggota pasukan tahun 1967.
Pada tanggal 5 Agustus 1969, di Istana Negara Jakarta berlangsung upacara penyerahan duplikat Bendera Pusaka Merah Putih dan reproduksi Naskah Proklamasi oleh Suharto kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia. Bendera duplikat (yang terdiri dari 6 carik kain) mulai dikibarkan menggantikan Bendera Pusaka pada peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1969 di Istana Merdeka Jakarta, sedangkan Bendera Pusaka bertugas mengantar dan menjemput bendera duplikat yang dikibar/diturunkan. Mulai tahun 1969 itu, anggota pengibar bendera pusaka adalah para remaja siswa SLTA se-tanah air Indonesia yang merupakan utusan dari seluruh provinsi di Indonesia, dan tiap provinsi diwakili oleh sepasang remaja.
Istilah yang digunakan dari tahun 1967 sampai tahun 1972 masih "Pasukan Pengerek Bendera Pusaka". Baru pada tahun 1973, Idik Sulaeman melontarkan suatu nama untuk Pengibar Bendera Pusaka dengan sebutan PASKIBRAKA. PAS berasal dari PASukan, KIB berasal dari KIBar mengandung pengertian pengibar, RA berarti bendeRA dan KA berarti PusaKA. Mulai saat itu, anggota pengibar bendera pusaka disebut Paskibraka.
Langganan:
Postingan (Atom)